Rabu, November 19, 2008

Telekomunikasi & Teknologi Hak cipta di Internet (barli)


Pertanyaan :

Misalnya kita hendah membuat suatu artikel atau media informasi yang akan di sebar luaskan dengan sumber atau gambar-gambar yang diambil dari internet atau media lainnya. Pertanyaanya : 1. Apakah hanya dengan menuliskan sumber berita dari media yang kita ambil tanpa meminta izin dari media tersebut merupakan pelanggaran hak cipta ? dan apakah sangsinya ? 2. Termasuk dalam jenis pendidikan atau komersialkah apabila kita mengirimkan artikel tersebut pada suatu media cetak dimana media tersebut bersifat komersial ? 3. Apakah bedanya bila kita mengambil gambar dari internet atau media lain dan menulis sumbernya dengan mengambil suatu informasi dari buku referensi dan menuliskan sumbernya, sedangkan kedua-duanya akan di sebar luaskan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Jawaban :

1. Menurut saya tidak, sepanjang informasi yang ditayangkan memang diperoleh dengan cara yang tidak melawan hukum. Jika bapak mengutip suatu “pendapat” ke dalam suatu tulisan, maka pengungkapan sumbernya mungkin sudah cukup dan atau tidak mengambil utuh seluruh ciptaan. Namun, untuk pemakaian gambar tentunya tidak cukup karena ada image seseorang yang akan dipergunakan. Sebagai contoh, jika seseorang memfoto Anda di kamar kecil dan meng-upload-nya di Internet, apakah Anda tidak punya hak untuk tidak mengizinkan orang lain melihatnya?

2. Tindakan tersebut termasuk jenis komersil, karena ada nilai ekonomis yang Anda terima, baik materil maupun immateril.

3. Mengambil gambar dari suatu media dan mengambil informasi dari suatu referensi jelas berbeda. Kita perlu melihat kembali kepada jenis datanya. Image seseorang melekat pada diri orang yang ada dalam image tersebut, sedangkan untaian teks tidak.

Kasus pelanggaran hak cipta / Copyright Infringement (perusahaan TechTarget.inc) oleh salah satu situs ku


Malam tanggal tanggal 29 maret tiba tiba di buzz sama pemilik server nicspace dan memberitahu salah satu site blog ku headernews.com di suspend oleh nya. “Ada apa pak gerangan? ” Kata ku.

“Saya mendapat peringatan dari datacenter kami bahwa salah satu situs mu melakukan copy paste dari situs orang lain, Orangnya mengirim surat ke data center kami” berikut isi suratnya( sambil mengirim file pdf ke emailku):

techtarget.gif

Hmmmm sebegitu pentingkah ini. Tanpa pikir panjang kami sepakat untuk melakukan pen “delete”an padahalaman tersebut (syarat untuk tidak di suspend). Tanda tanya besar memang ?

Siang ketika saat senggang aku mulai menganalisa kenapa orang Texas (atas nama perusahaan lagi) itu mengirimkan surat tersebut pada si data center tentang pelanggaran hak cipta atau bahasa keren nya “Copyright Infringement” ku search di google dengan kata ” Lenovo Thinkpad t61 141″ Sebuah kata-kata dengan spesific kata yang jelas

dan hasilnya ……

header-google.gif

Wooow my site ternyata masuk Top 10 dari kata kunci “Lenovo Thinkpad t61 141″ pantes aja………….

Kok bisa masuk 10 besar?

Analisa prediksi:

  1. menggunakan plugin wordpress All in SEO Pack
  2. Situs Ini Saya rancang penuh dengan langkah SEO lihat Headernya yang tercantum di Google “nama artikel | headernwes.com” Link juga menggunakan SEO Friendly
  3. Isinya berbobot(memuat seluruh data tentang Lenovo Thinkpad t61 141. Sehingga SERP di search engine tinggi.

Berdasarkan hal tersebut rasanya sekarang enggan melakukan copy paste lagi soalnya “Eman” (sayang) karena dah di posisi top 10 google akhirnya hilang. Hilang dech pengunjung………. :((

Pelanggaran Hak Cipta di Internet Sulit Diantisipasi



Sampai saat ini pemerintah Indonesia belum memiliki perangkat perundangan yang mengatur ihwal pelanggaran hak cipta di dunia internet (cyber). Perangkat yang ada --- Undang-undang No 14/1997 tentang hak cipta dan UU no 15 tahun 2001 tentang merek --- ternyata tidak bisa menjangkau dunia `maya` ini. Sehingga, kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta, Basrief Arief dalam Simposium Nasional HaKI 2001, di Jakarta, pekan lalu, persoalan pelanggaran hak cipta di internet belum bisa diantisipasi.
Bila ada perbuatan pidana menyangkut dunia cyber, katanya, aparat penegak hukum masih menggunakan KUHP. Mereka mengklasifikasikan tindak pidana tersebut ke katagori pencurian, perusakan, penipuan, persaingan curang, dan persaingan usaha tidak sehat.

Padahal, cyberspace yang tanpa tersekat oleh ruang dan waktu ini rawan menjadi sasaran pelanggaran hak cipta. Sebuah perusahaan bisa bebas menggunakan nama domain untuk kepentingan perusahaannya. Tidak seperti perdagangan tradisional, kata Basrief, di mana beberapa perusahaan yang berbeda bisa menjadi pemilik merek dagang yang sama, meskipun produk atau layanan jasanya berbeda. Di dunia cyber justru sebaliknya, hanya satu nama yang dapat diambil sebagai nama domain. Karenanya, sebuah perusahaan yang mendaftarkan pertama kali akan menggugurkan hak perusahaan lain untuk menggunakan nama yang sama di cyberspace.

Di Amerika Serikat dan Inggris, kata Basrief, pihak pengadilan telah memutuskan bahwa nama domain berfungsi sebagai trade merk (merek dagang). Sehingga perusahaan atau seseorang yang menggunakan sebuah nama untuk domain, padahal ia tidak berhak menggunakannya, akan dinyatakan bersalah karena melanggar merek dagang.

Di dunia percetakan, hak cipta dimaksudkan untuk melindungi kepentingan ekonomi para penulisnya. Hukum hak cipta hanya memproteksi pernyataan atau penyampaian ide, tapi bukan melindungi ide itu sendiri. Tentu saja hukum ini juga memproteksi originalitas seniman dan para inovatornya.

Karya cipta dalam media website memungkinkan seluruh karya seseorang dipublikasikan dengan salinan yang dapat didistribusikan kepada penggunanya. Masalahnya, salinan ini tidak sesederhana salinan kertas. Salinan elektronik ini dapat dengan mudah didistribusikan oleh pengakses.

Kalau materi yang disalin ada pada domain umum dipastikan tidak akan ada persoalan. Namun, masalah akan muncul jika pengakses adalah perusahaan media cetak yang akan mendistribusikan salinan itu ke pembacanya dengan merubah status penulisnya.

Umumnya, masalah ini masih menjadi hal biasa di Indonesia. Banyak media cetak yang menyalin informasi dari sebuah website tanpa menyertakan sumber informasi atau nama website tersebut. Hal seperti ini belum bisa dikatagorikan sebagi pelanggar hukum karena undang-undangnya memang belum ada.

Meskipun pelanggaran ini relatif masih bisa dimaklumi, kata Basrief, tetapi tetap tidak bisa ditoleransi. Solusinya, Indonesia harus secepatnya membuat Undang-undang khusus yang mengatur dunia cyber. (Republika)